Kamis, 18 Oktober 2007

Kapan Akuntan Publik Mengaudit Wajib Pajak

Bukan hal istimewa jika Menteri Keuangan Jusuf Anwar menginginkan akuntan publik lebih berperan, terutama dalam sistem perpajakan nasional. Dalam bahasa yang lebih gagah, akuntan publik mendapat 'tugas negara' untuk memeriksa kewajiban perpajakan sejumlah perusahaan yang memenuhi kriteria tertentu.
Perusahaan yang sudah terdaftar di pasar modal dan perusahaan yang aset tetapnya di atas Rp1 triliun, selain audit umum juga akan diwajibkan menggunakan jasa akuntan publik untuk pemeriksaan pajaknya. Sebagai imbalannya, pemerintah menjamin surat pemberitahuan pajak tahunannya tidak akan diutak-utik aparat pajak. Kecuali mereka mempunyai bukti kuat. Dengan demikian, wajib pajak memperoleh kepastian hukum yang lebih tinggi (menyakut kewajiban pajaknya), akuntan publik memperoleh ladang pekerjaan baru, dan pemerintah (maunya) mendapat tambahan penerimaan negara.
Akuntan publik, sesuai dengan namanya bekerja untuk kepentingan publik. Jasa mereka diperlukan karena publik-pemerintah, pemegang saham, investor, kreditor, dan karyawan-ingin mengetahui kondisi keuangan suatu perusahaan. Untuk itu diperlukan penilaian akuntan publik.
Laporan keuangan yang diaudit akuntan publik dinilai lebih transparan dan lebih mendekati kebenaran atau kondisi yang sebenarnya. Itu sebabnya, untuk perusahaan-perusahaan yang mengerahkan dana masyarakat, laporan keuangan wajib diaudit akuntan publik.
Dalam konteks tersebut, adalah hal yang wajar jika administrasi perpajakan-dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak-memanfaatkan semaksimal mungkin audit akuntan publik terhadap laporan keuangan perusahaan.
Pertanyaannya seberapa jauh output akuntan publik tersebut akan dimanfaatkan? Ditjen Pajak selama ini memanfaatkan sebagai rujukan dan pembanding dengan laporan keuangan fiskal. Namun secara formal pajak tidak membedakan antara wajib pajak yang laporan keuangannya diaudit akuntan publik atau tidak.
Ketika menjabat menteri keuangan (1979), Ali Wardhana mengatur tentang penggunaan laporan pemeriksaan akuntan publik untuk memperoleh keringan dalam penetapan pajak perseroan. Kebijakan itu tertuang dalam Kepmenkeu No. 108/KMK.07/1979 tanggal 27 Maret 1979. Kebijakan ini memang sangat menunjang karena saat itu, perpajakan nasional masih menganut sistem official assessment.
Artinya, penghitungan, penetapan dan pembayaran pajak terutang yang menjadi beban perusahaan dihitung oleh kantor pajak. Dulu disebut Kantor Inspeksi Pajak, dan biasa disingkat Kins. Jumlah wajib pajak badan juga masih terbatas, tidak seperti sekarang ini. Sehingga masih memungkinkan pajak terutang ditetapkan satu per satu untuk masing-masing wajib pajak badan.
Namun tugas official assessment tersebut semakin hari semakin berat. Akibatnya perusahaan harus menunggu lebih lama untuk mendapat penetapan pajak. Yang lebih menyedihkan penetapan pajak yang dibuat sering tidak objektif. Di sisi lain, tidak semua perusahaan mau terbuka terhadap petugas pajak.
Atas dasar itu, pemerintah perlu mendorong badan-badan usaha agar lebih tertib dan lebih terbuka. Salah satu caranya meminta perusahaan tersebut untuk diaudit oleh akuntan publik.
Perusahaan yang diaudit akuntan publik akan mendapat ganjaran fiskal, berupa keringanan pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak. Hasil audit akuntan publik dijadikan parameter untuk mengukur ketertiban pembukuan dan keterbukaan perusahaan.
Ketentuan pokok
Secara garis besar Kepmenkeu No. 108/KMK.07/1979 mengatur tentang ketentuan umum (menyangkut badan dan akuntan publik), dasar pengenaan pajak perseroan, sanksi, ketetapan peralihan, dan ketentuan penutup.
Hanya dua jenis opini akuntan publik yang bisa dijadikan dasar penetapan pajak, yaitu opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) dan wajar dengan pengecualian (qualified opinion). Syaratnya, pengaruh kualifikasi terhadap laba rugi perusahaan harus dicantumkan seacar tegas.
Kantor pajak harus menerima hasil audit akuntan publik tersebut sebagai dasar penetapan pajak dengan syarat:
Pertama, terhadap opini WTP kepala kantor inspeksi dapat melakukan koreksi fiskal terhadap hal-hal yang secara yuridis harus dikoreksi; sedangkan terhadap oponi WDP koreksi juga dapat meliputi pos-pos yang menjadi kualifikasi.
Kedua, sebelum penetapan pajak dilakukan Kepala Kantor harus memberitahukan kepada akuntan publik yang bersangkutan. Ketiga, jika badan usaha berbeda pendapat mengenai koreksi fiskal yang dilakukan, dapat mengajukan persoalannya kepada Dirjen Pajak dalam waktu 14 hari. Selama Dirjen Pajak belum mengambil keputusan, penetapan pajak tidak boleh dilakukan.
SK tersebut juga mengatur tentang sanksi pencabutan izin praktik, baik sementara waktu maupun selamanya, jika akuntan publik membuat laporan pemeriksaan yang tidak benar, menyembunyikan keterangan penting atau menyesatkan dan merugikan perpajakan serta tidak mentaati kode etik akuntan. Sebagai oversight board [badan pengawas] adalah Dirjen Pajak bersama Dirjen Pengawas Keuangan Negara.
Pengampunan pajak
Yang menarik, melalui Kepmenkeu ini pemerintah juga memberikan semacam pengampunan fiskal secara terbatas. Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 8 yang berbunyi: Bagi badan usaha yang mulai tahun buku 1979 mentaati ketentuan ini, maka pengungkapan fakta-fakta baru yang dilakukan untuk mentaati ketentuan tersebut tidak dijadikan dasar bagi penerbitan suatu ketetapan pajak tagihan kemudian, untuk tahun buku 1978 dan sebelumnya.
Pasal ini muncul karena pemerintah sadar tanpa suatu jaminan khusus, wajib pajak tidak akan dengan serta merta mengungkapkan informasi yang selama ini disembunyikan dari pajak. Dengan adanya jaminan khusus, yaitu informasi tersebut tidak akan dijadikan dasar penetapan pajak, maka hambatan tersebut dapat teratasi. "Untuk mengatasi hambatan tersebut diberikan kesempatan kepada badan usaha melakukan pemutihan fakta-fakta yang tadinya belum diungkap," ujarnya.
Inilah model kebijakan fiskal yang dirindukan dunia usaha. Selain mendapat keringanan pajak dan kepastian hukum, mereka juga mendapat kesempatan melakukan pemutihan. Pemutihan ini bisa disetarakan dengan pengampunan pajak, meski tanpa jaminan pemutihan dari sisi pidana umum.
Ternyata pemutihan tidak cukup sekali. Terbukti, kurang dari 10 tahun sejak terbitnya Kepmenkeu ini, pemerintah kembali memberikan pengampunan pajak melalui Keppres No. 26/1986. Kini suara-suara yang meminta pengampunan pajak juga mulai nyaring terdengar. Apakah pemerintah akan memberikan? Belum jelas. Wacana pengampunan pajak sangat tergantung pada menteri keuangannya. Kali pengusaha boleh lega, Jusuf Anwar termasuk yang pro pengampunan pajak.
Sayang, kebijakan baik dan dilandasi dengan niat baik tidak selalu menghasilkan balasan yang baik. Kepercayaan yang begitu besar kepada akuntan publik disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Berbagai kalangan, termasuk akuntan publik, mengakui kepercayaan kepada akuntan publik yang begitu besar sementara rambu-rambu pengawasannya begitu minim. Yang terjadi kemudian adalah penyalahgunaan kepercayaan. Akibatnya, pemerintah mencabut Kepmenkeu No. 108/KMK.07/1979 dengan iringan cibiran dan kecurigaan kepada akuntan publik.
Pencabutan ini memberikan pelajaran sangat berharga bagi akuntan publik. Namun tidak semua akuntan publik belajar dari kasus itu. Buktinya, dari waktu ke waktu terus saja terjadi penyalahgunaan profesi oleh akuntan publik. Terakhir, kasus Bank Global yang memakan korban akuntan publiknya, Joseps Susilo.
Namun seiring dengan waktu, profesi ini juga tumbuh dan kian dewasa. Mereka lebih profesional. Mereka lebih independen. Mereka lebih tinggi integritasnya. Dan atas dasar itu, Menteri Keuangan Jusuf Anwar percaya mereka bisa menangani 'Tugas Negara' dengan baik.
Kepercayaan ini menjadi luar biasa karena diberikan oleh menteri keuangan yang berlatar belakang sarjana hukum. Sementara menteri keuangan dengan latar belakang akuntan seperti Radius Prawiro (alm), Mari'e Muhammad, hingga Bambang Sudibyo tidak (pernah) memberikan kepercayaan sebesar itu.
Untuk kali ini, pepatah lama yang berbunyi sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya benar-benar tak berlaku. Terutama untuk akuntan publik.

Selasa, 09 Oktober 2007

Rehat Sejenak : JASMERAH (Jangan Melupakan Sejarah)

Seorang Profesor Yahudi ternyata punya andil andil besar dalam kasus pengejaran dan pembunuhan orang-orang Yahudi yang dilakukan Nazi-Jerman dalam Perang Dunia II. Profesor Karl Haushofer namanya. Karl Ernst Haushofer lahir di Munich, Bavaria (Jerman), pada 27 Agustus 1869. Dia terlahir dari keluarga Yahudi Jerman, dari pasangan Max Haushofer, seorang ekonom, dan Frau Adele Haushofer. Lulus dari sekolah atas, Karl muda mendaftar sebagai tentara Bavaria. Karir di dinas ketentaraan, Karl menamatkan pendidikan di Lembaga Pendidikan Ketentaraan Bavaria (Kriegschule), Akademi Artileri (Artillerieschule), dan Bavarian War Academy (Kriegsakademie). Tahun 1896 Karl muda menikah dengan Martha Mayer Doss, juga seorang Yahudi. Haushofer memiliki kedekatan dengan Hitler. Mengapa seorang Haushofer yang juga Yahudi Jerman berbuat seperti ini? Jawabannya bisa ditemukan dalam sebuah pertemuan rahasia 13 keluarga berpengaruh Yahudi di Judenstaat, Frankfurt, Bavaria, di kediaman Sir Mayer Amschell Rothschild pada tahun 1773. Saat itu Rotshchild melontarkan dua rencananya. Pertama, menyusun 25 program penguasaan dunia yang kemudian kita kenal sekarang sebagai Protokolat Zionis. Yang kedua, Rotshchild menyebut nama Adam Weishaupt—seorang mantan Yesuit—untuk mendirikan dan memimpin organisasi konspiratif modern bernama Illuminati. Pertemuan Frankfurt ini menyepakati, mereka harus menemukan kembali harta karun King Solomon yang mereka yakini terbenam dalam reruntuhan Haikal Sulaiman yang ada di bawah Masjidil Aqsha di Yerusalem. Caranya adalah dengan merebut Yerusalem dari tangan bangsa Palestina yang sudah ribuan tahun mendiaminya.
Theodore Hertzl kemudian menyelenggarakan Kongres Internasional Zionisme (1897) yang diselenggarakan di Basel, Swiss. Kongres ini menyepakati bahwa seluruh Yahudi-Diaspora, istilah bagi orang-orang Yahudi yang masih terserak di seluruh dunia, agar secepatnya melakukan imigrasi ke Promise Land atau yang menurut mereka Kota Suci Yerusalem. Seruan Kongres Internasional Zionis ini tidak ditanggapi dengan antusias. Banyak keluarga Yahudi yang sudah mapan di Eropa dan Amerika enggan pindah ke Yerusalem. Meraka menolak seruan itu walau para ketua Zionis memaksanya.
Akhirnya tidak ada jalan lain, imigrasi Yahudi ke Palestina harus melalui jalan paksaan. Harus ada satu kondisi yang memaksa orang-orang Yahudi-Diaspora agar mau pindah ke Palestina. Akhirnya Haushofer berhasil dengan gemilang mendekati Hitler dan kemudian—tanpa disadari—ulah Nazi mengejar-ngejar orang Yahudi mengakibatkan banyak orang Yahudi yang kabur dari negerinya dan berbondong-bondong ke Palestina.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Norman Finkeltstein dalam “The Holocaust Industry” atau Frederich Toben, peristiwa Holocaust sesungguhnya didalangi oleh kaum Zionis-Yahudi guna memaksa orang-orang Yahudi lainnya agar mau pindah ke Palestina, lewat tangan Hitler. Bahkan Norman Finkelstein yang juga berdarah Yahudi menentang cara-cara kotor Zionis ini. Dalam bukunya, Finkelstein membongkar mitos holocaust dan menyebutnya sebagai proyek pemerasan yang dilakukan Zionis terhadap negara-negara Eropa dan juga dunia, dengan mengorbankan kaum Yahudi Eropa yang sebenarnya enggan untuk ke Palestina.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ternyata terbentuknya negeri Israel saat ini pada awalnya menimbulkan pro dan kontra dikalangan mereka sendiri, sebagaimana telah disitir dalam Al-Quran surat al Hasyr:14 ” kalian mengira mereka bersatu, padahal hati mereka bercerai”. Kalangan Yahudi yang kontra dengan pembentukan negara Israel didasarkan pada tafsiran atas nubuat yang terdapat dalam kitab mereka sendiri yang menyatakan bahwa pendirian negara Israel merupakan lonceng kematian bagi orang-orang Yahudi.
Jadi bagaimana kaitannya dengan komentar Ahmadinejad? Silakan disimpulkan sendiri.....
Disarikan dari berbagai sumber: Eramuslim.com dan buku ” Menanti Ajal Israel: sebuah tinjauan dari perspektif ahli kitab” ( Dr. Safar Al-Hawali)

Sabtu, 06 Oktober 2007

Pajak dan Wong "Samin"

Berikut ini adalah dialog antara petugas pajak dengan seorang suku Samin tahun 1914:
Petugas :"Kamu masih hutang 90 persen kepada negara "
Samin :"Saya tidak hutang kepada negara "
Petugas:"Tapi kamu mesti membayar pajak"
Samin :"Wong Sikep (orang Samin) tak mengenal Pajak"
Petugas:"Apa kamu gila atau pura-pura Gila?"
Samin :"Saya tidak gila, dan tidak pura2 gila"
Petugas:"Kamu biasanya bayar pajak, mengapa sekarang tidak? "
Samin :Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Mengapa negara tidak habis-habisnya minta uang?"
Petugas:"Negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak punya cukup uang, tak mungkin merawat jalan dengan baik".
Samin :"Kalau menurut kami, jika keadaan jalan itu tidak baik, kami bisa membetulkannya sendiri. "
Petugas :"Jadi kamu tidak membayar pajak? "
Samin :"Wong Sikep tak mengenal pajak'

Ajaran saminisme tersebar antara lain di daerah Blora, Kudus, Pati, Rembang dan Bojonegoro.
Ajaran saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan orang Samin yang dipelopori Samin Surontiko (nama aslinya Raden Kohar) tidak dilaksanakan secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri. Misalnya perkawinan sudah dianggap sah walaupun yang menikahkan hanya orang tua pengantin. Sekitar tahun 1900an, gerakan Samin mulai menjadi perhatian pemerintah kolonial. Mereka mulai meresahkan Belanda oleh karena secara terang-terangan menolak membayar pajak, melawan politik etis, kerja paksa dan lainnya. Meskipun tokoh gerakan ini ditahan Belanda dan di buang ke luar pulau Jawa (1907), gerakan-gerakan mereka masih terasa hingga tahun 1930-an.. Orang-orang Samin sebenarnya kurang suka dengan sebutan “Wong Samin” sebab sebutan tersebut mengandung arti tidak terpuji yaitu dianggap sekelompok orang yang tidak mau membayar pajak, sering membantah dan menyangkal aturan yang telah ditetapkan sering keluar masuk penjara, sering memcuri kayu jati dan perkawinannya tidak dilaksanakan menurut hukum Islam. Para pengikut saminisme lebih suka disebut “Wong Sikep”, artinya orang yang bertanggung jawab sebutan untuk orang yang berkonotasi baik dan jujur.
Apa yang dikemukakan dimuka. baik orang Samin pada tahun 1914, saya yakin merupakan ekspresi mendalam yang berkaitan dengan problem kewarganegaraan kita. Sejak semula, sejak Samin dikenal sebagai "pembangkangan kaum tani abad ke-19'', masalah pajak menjadi sorotan penting dalam aksi pergulatan mereka. Bahkan sampai kini perdebatan dan perbincangan mengenai pajak masih menjadi sikap mereka dalam melakukan "counter" terhadap perilaku pemerintah yang tidak benar.
Bagi orang Samin, negara adalah sebuah bentuk dari persekutuan dua kepentingan untuk mencapai cita-cila bersama. atau bisa dimaknai sebagai kontrak dua kepentingan yang didasari oleh sikap saling menguntungkan (negoro iku uneg-unege wong loro). Jadi, jika ternyata dalam perjalanan berikutnya, bentuk dan kebijakan negara tidak merepresentasikan dari yang dibuat oleh dua kepentingan tersebut maka batal lah semua kesepakatan untuk mengakui kedaulatan negara. Karena kontrak dua kepentingan itu tidak diakui lagi, maka batal pula kewajiban satu pihak (masyarakat) untuk mengeluarkan kewajibannya memberikan pajak kepada pihak negara.
Berkaitan dengan kondisi di negeri kita selama ini pengelolaaan pajak di Indonesia masih sangat amburadul. Disamping ketidakmarnpuan birokrasi mengelola pajak secara baik, masyarakat sendiri tidak memahami makna penting pajak dalam kehidupan bemegara Ujungnya, di satu sisi KKN, terus terjadi di lingkup birokrasi, , departemen pengelola pajak, masyarakat sendiri tidak banyak yang tahu sebetulnya untuk apa berbagai pajak ditimpakan kepada mereka Akibatnya. sambil KKN terjadi secara berulang-ulang tanpa ada penyelesaian yang jelas, rnasyarakat sendiri untuk beberapa konteks ada yang sukses membangun koalisi dengan oknum birokrasi untuk "menilep" pajak sesuai dengan yang harus dia tanggung, namun pada sisi lain, beberapa masyarakat yang kntis, sambil tetap membayar pajak kepada negara (karena takut direpresi tentara), memaknai pajak sebagai upeti ("pungutan liar"), mirip seperti negara feodal yang memungut upeti dari rakyatnya pada zaman kerajaan (seperti yang kita lihat dari sedikit gambaran masyarakat Samin di atas).
Semoga saja dengan pembenahan secara bertahap yang sedang dilakukan Departemen Keuangan melalui salah satunya dengan modernisasi pelayanan perpajakan dan remunerasi dapat dijadikan langkah awal dalam perbaikan manajemen keuangan RI di masa yang akan datang, demikian pula dengan upaya SBY untuk memberantas korupsi di kalangan pejabat daerah dapat mendorong pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik lagi, sehingga KKN bisa lenyap dari bumi nusantara.
Dengan demikian tidak akan muncul lagi gerakan ”pembrontakan” samin jilid 2 atas gugatannya kepada negara soal pajak beserta penggunaannya.

© Blogger Templates | Make Money Online