Selasa, 05 Oktober 2010

Pemungutan PPh Pasal 22 Pedagang Pengumpul, Menunggu Ditunjuk?

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat kirima surat dari Wajib Pajak Sehubungan dengan surat Wajib Pajak perihal Permohonan Penjelasan Mengenai Pemungutan PPh Pasal 22 atas Pembelian Bahan-bahan untuk Keperluan Industri atau Ekspor dari Pedagang Pengumpul:

1. Dalam surat WP PT TCP tersebut di atas, ditanyakan hal-hal sebagai berikut:
PT TCP selama ini belum ditunjuk oleh Kepala KPP Kantor sebagai Pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian bahan dari pedagang pengumpul. Di masa Desember 2007 diterbitkan STP PPh Pasal 22 karena terlambat melakukan penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 22. Saudara menanyakan mengenai kewajiban PPh Pasal 22 sehubungan dengan PT TCP belum ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas pembelian bahan dari pedagang pengumpul, yaitu:
a. Apa yang harus dilakukan PT TCP atas pemungutan PPh Pasla 22 dari pedagang pengumpul yagn selama ini telah dilakukan
b. Apa PT TCP membuat permohonan tertulis untuk ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 dari pedagang pengumpul.
2. Pasal 22 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terkhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa Menteri Keuangan dapat menetapkan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain.
3. Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan No. 154/PMK.03/2010 tanggal 6 September 2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain menyatakan bahwa pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terkhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 diantaranya adalah Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-523/PJ./2001 sebagaimana telah mengalami beberapa kali perubahan terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-23/PJ/2009:
a. Pasal 1 ayat 2: Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukkan bagi badan usaha industri dan eksportir yang bergerak dalam sekhtor perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak, sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22.
b. Pasal 2: Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 22 yang wajib dipungut atas pembelian bahan-bahan oleh pemungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
5. Berdasarkan dasar hukum pemungutan PPh Pasal 22 kepada pedagang pengumpul sebagaimana diuraikan di atas maka dapat kami uraikan tanggapan atas pertanyaan Saudara pada angka 1 sebagai berikut:
a. Sesuai dengan dasar hukum pemungutan PPh Pasal 22 di atas, Pemungutan PPh Pasal 22 kepada para pedagang pengumpul dilakukan setelah dterbitkan Surat Keputusan Penunjukkan sebagai Pemungut PPh Pasal 22. Bilamana PT TCP telah terlanjur melakukan pemungutan dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 22 dari pedagang pengumpul, sepanjang pungutan tersebut telah Saudara setorkan seluruhnya ke Bank Persepsi/Kantor Pos dan telah dikreditkan oleh pedagang pengumpul maka PT TCP tidak perlu melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 22. Mengingat tidak terdapat peraturan yang mengatur sanksi perpajakan atas pemungutan PPh Pasal 22 sebelum diterbitkannya Surat Keputusan Penunjukkan sebagai pemungut PPh Pasal 22.

Jumat, 24 September 2010

Pengenaan Pajak Pasal 23 atas Fix Rebate, Conditional Rebate, dan Listing Fee

Wajib Pajak menanyakan Pengenaan Pajak Pasal 23 atas Fix Rebate, Conditional Rebate, dan Listing Fee, dengan ini kami sampaikan penjelasan sebagai berikut:

1. Dalam surat tersebut dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
a. Saudara menanyakan apakah fix rebate, conditional rebate, dan listing fee merupakan objek PPh Pasal 23;
b. Selama ini pihak customer Saudara (Modern Outlet) menyatakan bahwa ketiganya bukan merupakan objek PPh Pasal 23, namun menerbitkan faktur pajak atas fix rebate, conditional rebate dan listing fee yang ditagihkan kepada Saudara;
c. Fix rebate, conditional rebate yang dikenakan oleh customer Saudara langsung dipotongkan dari piutang Saudara kepada customer tersebut.
2. Sesuai dengan pengertian dan peristilahan dalam dunia perdagangan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Fix rebate adalah potongan harga dari pemasok ke toko modern tanpa dikaitkan dengan target penjualan;
b. Conditional rebate adalah potongan harga yang diberikan oleh pemasok terkait dengan target penjualan, sejalan dengan pengertian tersebut maka volume discount termasuk dalam pengertian conditional rebate, karena volume discount merupakan discount yang diberikan kepada para pelanggan apabila pelanggan telah mencapai volume target secara berkala;
c. Listing fee adalah biaya pendaftaran yang diterapkan oleh peritel modern kepada pemasok yang mau menjual produknya di suatu toko/pasar modern.
3. Terkait dengan perlakuan perpajakan atas rebate, berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-976/PJ.52/2005 tanggal 23 November 2005 tentang Penegasan PPN atas Volume Discount/ Rabat Sebagai Pengurang Harga Jual Kepada Konsumen angka 5 pada intinya dinyatakan bahwa :
a. Volume discount/Rabat kepada pelanggan Saudara dapat mengurangi Dasar Pengenaan Pajak sepanjang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
b. Apabila pelanggan Saudara menerbitkan Debit Note, maka Saudara dapat memperhitungkannya sebagai potongan harga dengan mencantumkan volume discount/Rabat tersebut pada Faktur Pajak.
c. Dalam hal Saudara hendak mengurangkan volume discount/rabat dari harga jual di dalam Faktur Pajak yang telah Saudara terbitkan, Saudara dapat menerbitkan Faktur Pajak Standar Pengganti atas Faktur Pajak yang telah diterbitkan sebelumnya yang ketentuannya diatur dalam Tata Cara Penggantian Faktur Pajak (Lampiran III Peraturan Dirjen Pajak No. PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006).
d. Perlakuan PPh atas volume discount/rabat mengacu kepada penegasan yang telah diberikan pada Surat Direktur Pajak Nomor S-1045/PJ.313/2004 tanggal 10 November 2004.
4. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-1045/PJ.313/2004 tanggal 10 November 2004 menyatakan bahwa pemberian volume discount yang diberikan kepada para pelanggan bukan merupakan pemberian hadiah atau penghargaan yang dikenakan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dan Pasal 23 ayat (1) huruf a angka (4) UU PPh, sepanjang volume discount tersebut merupakan pengurangan harga untuk menentukan nilai penjualan bersih bagi penjual.
5. Bilamana pelanggan Saudara telah menerbitkan Faktur Pajak Standar atas rebate yang diberikan kepada pelanggan Saudara dan tidak mengurangi harga jual maka pada hakekatnya rebate tersebut merupakan komisi penjualan dan merupakan objek PPN. Sesuai Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-1045/PJ.313/2004 karena rebate tersebut bukan merupakan pengurangan harga untuk menentukan nilai penjualan bersih bagi penjual maka rebate tersebut merupakan hadiah atau penghargaan, sehingga Saudara wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23.
6. Berdasarkan penjelasan pada angka 6 Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-137/PJ.43/2006 tanggal 17 Juli 2006 tentang Penjelasan atas Kewajiban Sebagai Pemotong PPh Pasal 23, pembebanan listing fee dan rebate yang dilakukan oleh customer kepada Wajib Pajak melalui pemotongan piutang Wajib Pajak merupakan biaya promosi dan termasuk objek PPh Pasal 23 (Jasa manajemen pemasaran) dan oleh karenanya Wajib Pajak wajib memotong PPh Pasal 23.
7. Terkait dengan perlakuan perpajakan atas listing fee, berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-137/PJ.43/2006 tanggal 17 Juli 2006 tentang Penjelasan atas Kewajiban Sebagai Pemotong PPh Pasal 23 dijelaskan bahwa listing fee dikategorikan sebagai biaya promosi dan merupakan objek Pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa manajemen pemasaran (management fee).

Selasa, 06 Juli 2010

Permohonan Pengurangan Sanksi Administrasi Pasal 36 1a Dulu dan Sekarang

Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan sanksi administrasi atas Surat Tagihan Pajak tahun pajak 2006, diajukan tanggal 29 Juni 2010. Bisa kah? Salah satu perbedaan pokok ketentuan pengajuan sanksi administrasi adalah untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum 1 Januari 2008 menggunakan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang mana terdapat batas waktu pengajuan s.d. 3 bulan sejak tanggal penerbitan skp, sedangkan dengan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PMK.03/2008 batas waktu maksimal pengajuan permohonan pengurangan/penghapusan sanksi ditiadakan.

Selasa, 18 Mei 2010

Faktur Pajak yang Lama, Masihka h berlaku?

Ada Wajib Pajak yang bertanya tentang faktur pajak lama yang terlanjur dicetak dan belum atau sudah digunakan PKP pada saat Per Dirjen Pajak No. Per 13/PJ/2010 diberlakukan, apakah masih dapat digunakan?
Penjelasan terkait Pertanyaan tersebut ditegaskan dalam SE-56/PJ/2010 tanggal 27 April 2010 sebagai berikut:
a. Faktur Pajak Lama masih dapat digunakan oleh PKP sampai haibs dan tetap dianggap sah sepanjang memenuhi ketentuan baik secara formal maupun material/
b. Faktur pajak tersebut dapat dikreditkan oleh pembeli sepanjang memenuhi ketentuan sebagai pajak masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan berlaku.
c. Nomor urut pada kode dan nomor seri faktur pajak melanjutkan nomor urut yang telah digunakan oleh PKP sebelum berlakunya peraturan Dirjen Pajak No. Per-13/Pj/2010.
d. Bentuk dan ukuran formulir faktur pajak dibuat sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan PKP tidak harus sama dengan contoh pada lampiran IA dan Lamiran IB Per Dirjen Pajak No. Per-13.
e. Invoice yang memenuhi ketentuan pasal 13 ayat 5 UU PPN dipersamakan dengan faktur pajak

Prosedur Penguranga Sanksi Administrasi

Wajib Pajak kadangkala mengajukan permohonan pengurangan sanksi administrasi atas STP dan SKPKB, kadangkala pula Saya lupa persyaratannya. Untuk lebih mengingat-ingat lagi maka saya tampilkan persyaratan tersebut sebagaimana diatur dalam PMK No. 21 tahun 2008 pasal 3 sebagai berikut:
Pasal 3

(1) Permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
b. permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan memberikan alasan yang mendukung permohonannya;
c. permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar;
d. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang terutang; dan
e. surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat permohonan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
(2) Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat dipertimbangkan.

Saat Pelaporan SPT Masa PPN

Suatu Saat Wajib Pajak Bertanya tentang jangka waktu pelaporan SPT masa PPN sesuai dengan UU PPN yang baru? Seketika aku terperangah, kaget dengan pertanyaan ini? Mengapa? Ternyata pertanyaan semudah ini aku gak yakin njawabnya? Karena apa, karena aku belum Baca? tapi saat itu juga aku berpikir "terima kasih WP kau telah bertanya" sehingga aku bisa update database PPN dalam memoriku dan mencarikan jawabannya.
Pasal 15A UU PPN No. 42 Tahun 2009: (1)Penyetoran PPN oleh PKP harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan (2) SPT Masa PPN disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

Selasa, 04 Mei 2010

Saat Pembuatan Faktur Pajak

Wajib Pajak bertanya, pertanyaan pertama,kami melakukan transaksi dengan salah satu customer berdasarkan dokumen kontrak atas penjualan produk kami. Namun dalam pelaksanaannya barang tidak bisa diantarkan sekaligus dalam suatu waktu, butuh beberapa kali pengiriman dalam jangka waktu dua bulan. Selama jangka waktu tersebut customer juga menitipkan uang sebagai bagian dari pelunasan pembayaran. Pertanyaannya adalah kapan kami harus membuat faktur pajak. Pertanyaan kedua, bilamana dibuat faktur pajak saat melakukan transaksi dengan bendaharawan pemerintah?
Jawaban:
Dasar Hukum: UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 13 ayat 1a dan Pasal 2 Peraturan Dirjen Pajak No. 13/PJ/2010 tanggal 1 April 2010.
Pasal 2 ayat 1 Peraturan Dirjen Pajak menyatakan: Faktur Pajak harus dibuat pada
a. saat penyerahan BKP dan/atau JKP
b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP
c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagaian tahap pekerjaan;atau
d. saat pengusaha kena pajak rekanan menyampaikan tagiah kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut PPN.
Dengan demikian pertanyaan kedua telah terjawab pada butir d di atas.
Ayat 2 Pasal 13 menyatakan dikecualikan dari ketentuan saat pembuatan faktur pajak di atas, Pengusahan Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) faktur pajak meliputi seluruh penyerahan yag dilakukan kepada pembeli barang kena pajak atau jasa kena pajak yang sama selama 1(satu) bulan kalender. Selanjutnya ayat 2a menyatakan Faktur pajak gabungan tersebut harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.
Dengan demikian atas transaksi yang Saudara lakukan sepanjang pembelinya adalah pihak yang sama dan penyerahannya secara bertahap maka dapat dibuatkan satu faktur pajak yang disebut dengan faktur pajak gabungan serta tidak memperhatikan pembayaran yang dilakukan oleh customer anda. Memang untuk UU PPN sebelumnya bilamana terjadi pembayaran sebagian maka atas pembayaran tersebut dibuatkan faktur pajak terpisah.
Filosofi pengecualian di atas, sesuai penjelasan UU PPN, adalah untuk memudahkan beban administrasi pengusaha kena pajak, sehingga setiap kali terjadi penyerahan dan/ atau pembayaran tidak perlu membuat faktur pajak, namun cukup sekali di akhir bulan.

Tanggal Pengukuhan PKP tidak Dicantumkan dalam Faktur Pajak

Wajib Pajak bertanya, Pajak Masukan yang dia terima dari supplier tidak mencantumkan tanggal pengukuhan PKP, apakah faktur tersebut cacat dan tidak boleh dikreditkan?
Jawab:
Pasal 13 ayat 5 UU PPN (UU No 42 Tahun 2009) menyatakan:
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak;
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak

Jelas bahwa tanggal pengukuhan NPPKP bukan merupaka ketentuan minimal yang wajib dicantumkan dalam pengisian faktur pajak.

PPh atas Penghasilan Penemu Pelanggan

Ada pertanyaan dari Wajib Pajak tentang bagaimana perlakuan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh penemu pelanggan alias perantara alias makelar, tapi bukan perantara kasus lho pak kata WP? Ah...Bapak nih mancing-mancing aja kataku..
Jawabannya adalah: Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh penemu pelanggan mengacu pada Peraturan Dirjen Pajak No. Per31/PJ/2009 tanggal 25 Mei 2009 tentang pedoman teknis tata cara pemotongan penyetoran dan pelaporan pajak penghasilan Pasal 21 dan atau pajak penghasilan pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan jasa dan kegiatan orang pribadi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak No. Per-57/PJ/2009 tanggal 12 Oktober 2009 (peraturan ini berlaku surut mulai tanggal 1 Januari 2009).
Pasal 3 huruf c angka 9 menyatakan bahwa Penerima penghasiln yang dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan...9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara.
Pasal 9 ayat 1 menyatakan bahwa DPP PPh Pasal 21 adalah penghasilan kena pajak yang berlaku bagi, salah satunya adalah bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam pasl 3 huruf c yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan.
Namun bilamana penerima penghasilan tersebut menerima penghasilan tidak berkesinambungan sesuai pasal 9 huruf c, DPPny adalah 50% dari jumlah penghasilan bruto.
Penghasilan kena pajak adalah sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto dikurang PTKP perbulan bagi penerima penghasilanTarif PPh adalah tarif berdasarkan pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh sebagaimana diatur dalam pasal 16 Per-31.
Bilamana bukan pegawai yang menerima penghasilan yang berkesinambungan memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan dari hubungan kerja dengan pemotong PPh pasal 21 serta tidak memperoleh penghasilanlainnya PPh Pasal 21 dihitung dengan menerpakan tarif pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh Atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender yang bersangkutan. Besarnya penghasilan kena pajak adalah sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP perbulan.
Bilamana penerima penghasilan bukan pegawai tidak memilki NPWP atau memperoleh penghasilan lainnya selain dari hubungan kerja dengan pemotong PPh Pasal 21 . PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif 50% dari jumlah penghasilan bruto dalam tahun kalender bersangkutan.
Terakhir bagi yang tidak punya NPWP dikenakan tarif PPh lebih tinggi 20 % daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki NPWP.

© Blogger Templates | Make Money Online